BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM ADALAH BAGIAN DARI SURAH AL-FATIHAH

Dalam kitab bulughul maram hadits ke 280 :
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ كَانُوا يَفْتَتِحُونَ اَلصَّلَاةِ بِـ (اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اَلْعَالَمِينَ ) - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ " صحيح . رواه البخاري (743) ، ومسلم (399) ، واللفظ للبخاري" .
Artinya: Dari Annas bin Malik r.a., bahwasanya Rasululloh Saw, Abu Bakar, Umar, dan Usman semuanya memulai qiroahnya dengan Alhamdulillahi rabbil ’alamiin.

Dalam hadits tersebut tidak disebutkan lafadz basmallah (Bismillahirrahmaanirrahiim), Padahal dalam kitab-kitab fiqih Syafi’i disampaikan bahwa Bismillahirrahmaanirrahiim adalah bagian dari Al-Fatihah yang harus dibaca setiap shalat.
Dalam kitab muhazdab lis Syeikh Abu Ishaq asy syaerozi juz ke-1 hal. 72
ويجب ان يبتدئها بسم الله الرحمن الرحيم فإنها اية منها والدليل ما روت ام سلمة رضى الله عنها ان البى صلعم قراء بسم الله الرحمن الرحيم فعدها اية منها ولاأن الصحابة رضى الله عنهم اثبتوها فيما جمعوا من القرآن فيدل على انها اية منها فإن كان فى الصلاة يجهر فيها جهر بها كما يجهر فى سائر الفاتحة لما روى ابن عباس رضى الله عنهما ان النبى صلعم جهر ببسم الله الرحمن الرحيم ولأنها تقراء على انها اية من القرآن بدليل انها تقراء بعد التعوذ فكان سنتها الجهر كسائر الفاتحة.

Artinya: dan wajib bahwa dimulakannnya Fatihah dengan Bismillahirrahmaanirrahiim karena sesungguhnya itu salah satu ayat dari padanya. Dan dalil atasnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah r.a. bahwa Nabi Saw, membaca Bismillahirrahmaanirrahiim maka dimasukkannya Bismillahirrahmaanirrahiim itu daripada Fatihah dan karena sesungguhnya para sahabat r.a. menyantumkannya pada apa yang mereka himpunkan daripada Al-Qur’an maka hal tersebut menunjukkan bahwa Bismillahirrahmaanirrahiim adalah satu ayat dari padanya. Maka jika Bismillahirrahmaanirrahiim dalam sembahyang yang dijaharkan maka jaharkanlah Al fatihah dengan Basmallah sebagaimana dijaharkan ia dari Al-Qur’an dengan dalil sesungguhnya Basmalah dibaca sesudah ta’awudz maka kesunnahan Basmallah adalah dijaharkan sebagaimana ayat Al fatihah yang lain.” Kemudian untuk lebih jelasnya kami sampaikan riwayat Ibnu Abbas,

ان النبى صلعم لم يزل يجهر فى السورة ببسم الله الرحمن الرحيم
artinya: bahwa Nabi Saw, senantiasa menjaharkan pada dua surat dengan Bismillahirrahmaanirrahiim (H.R. Addaruqutni)
Diriwayatkan bahwa berkata Nu’aim al Mundir;
صليت وراء ابى هريرة فقرأ بسم الله الرحمن الرحيم ثم قرأ بأم القرآن وفيه يقول اذا سلم والذى نفسى بيده انى لأشبهكم صلاة برسول الله صلعم
Artinya: Aku pernah bersembahyang di belakang Abu Hurairah r.a. maka beliau membaca Bismillahirrahmaanirrahiim kemudian dibacanya Ummul Qur’an dan di dalam hadits tersebut ia berkata setelah memberi salam: Demi Tuhan yang diriku berada pada Tangan kekuasaan-Nya sesungguhnya aku adalah paling mirip di antara kamu sembahyangnya dengan Rasulullah Saw, (H.R. An Nasa’i)

Hadits ini sohehkan oleh Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban al Hakim dan dikatakannya atas syarat Bukhori dan Muslim. Diriwayatkan pula dari Abi Hurairah r.a.
كان النبى صلعم اذا قرأ وهو يؤم الناس افتتح ببسم الله الرحمن الرحيم (رواه الدرقطنى وقال رجال اسناده كلهم ثقات)
Artinya: adalah Nabi Saw, apabila Beliau membaca dan Beliau mengimami manusia maka Beliau memulai dengan Bismillahirrahmaanirrahiim (H.R. Addaruqutni rijal sanadnya orang-orang terpercaya.

Dalam riwayat yang lain Abu Hirairah berkata: Telah bersabda Rasulullah Saw,
اذا قرأتم الحمد فاقرؤا بسم اللهة الرحمن الرحيم انها أم القرآن وأم الكتاب والسبع المثانى وبسم الله الرحمن الرحيم احدى اياتها ( أخرجه الدارقطنى)

Artinya: Apabila kamu membaca Alhamdu maka bacalah Bismillahirrahmaanirrahii. Sesungguhnya Bismillah itu Ummul Qur’an, Ummul Kitab, Assyab’ul Matsani. Dan Bismillahirrahmaanirrahiim salahsatu dari ayatnya. (H.R. Addaruqutni)

Diriwayatkan dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Ammar bin Yasin
ان النبى صلعم كان يجهر فى المكتوبات ببسم الله الرحمن الرحيم ( أخرجه الدارقطنى)
Artinya: Bahwa Nabi Saw, adalah menjaharkan pada shalat fardhunya dengan Bismillahirrahmaanirrahiim. (H.R. Addaruqutni).
Kemudian Sayyidina Ummar juga meriwayatkan

ان النبى صلعم كان اذاقام الى الصلاة فأراد أن يقرأ قال : بسم الله الرحمن الرحيم (رواه ابن عبد البر(
Artinya: Sesungguhnya Nabi Saw, apabila berdiri sembahyang ketika akan membaca, diucapkannya Bismillahirrahmaanirrahiim.
Cukup banyak hadits-hadits yang menyebutkan Bismillahirrahmaanirrahiim bagian daripada Al Fatihah sehingga para ’ulama Syafi’iyyah mengharuskan dibaca pada setiap membaca Al Fatihah.
Menurut al Hafidz Ibnu Hajjar bahwa hadits-hadits Annas yang menafikkan Basmallah adalah menafikkan jaharnya, maka apabila ada didapatkan riwayat tentang jaharnya Basmallah tentulah ini yang diisbatkan didahulukan daripada yang nafi dan hal itu masih ada alasan lagi dari naqli yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Addaruqutni dari Abi Salamah berkata ia:
سألت انس بن مالك اكان رسول الله صلعم يستفتح بالحمدلله رب العالمين ؟ او ببسم الله الرحمن الرحيم ؟ فقال :انك سألتنى عن شيئ مااحفظه وما سالتنى عنه احد قبلك.

Artinya: Aku pernah bertanya kepada Annas bin Malik apakah Rasulullah Saw, memulai bacaannya dengan Alhamdulillah atau dengan Bismillah? Maka jawab Annas: Sesungguhnya engkau telah bertanya tentang sesuatu yang aku tidak hafal tentangnya. Dan belum pernah ada orang yang menanyakan kepadaku tentang ini sebelum engkau.
Dalam rangka membicarakan hadits yang menafikkan Basmallah maka dapat kami kemukakan disini bahwa pendapat ahli hadits menyatakan hadits sahabat Annas itu terdapat ilat pada matanya. Telah berkata al Hafizd Abil Khoir Muhammad bin abdurrahman as Sahowi dalambabul illal, sbb:
وعلة المتـن كنفى البسملة * اذظن راو نـفــيها فـنـقـــــله
وصـــــح ان أنسا يقول لا * احفظ شيئا فيه حين سئلا
Artinya: dan illatnya suatu mattan (lafadz hadits seperti hadits tentang menafikkan Basmallah. Karena menurut persangkaan rawi ternafinya Bismillah maka dinaqolkannya. Padahal telah saheh bahwa sahabat Annas berkata: Aku tidak hafal sesuatu tentang itu seketika ia ditanya.

Dengan demikian hadits Annas yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim tergolong hadits yang soheh sanadnya akan tetapi mattan hadits tersebut terkena illat (maklul), maka hadits Annas tersebut tidak bisa dibuat hujjah.

Read More..

Apa beda antara Infaq dan Shodaqoh?

Zakat menurut bahasa artinya adalah “berkembang” (an namaa`) atau “pensucian” (at tath-hiir).
Adapun menurut syara’, zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu (haqqun muqaddarun yajibu fi amwalin mu’ayyanah) (Zallum, 1983 : 147).
Dengan perkataan “hak yang telah ditentukan besarnya” (haqqun muqaddarun), berarti zakat tidak mencakup hak-hak –berupa pemberian harta– yang besarnya tidak ditentukan, misalnya hibah, hadiah, wasiat, dan wakaf.
Dengan perkataan “yang wajib (dikeluarkan)” (yajibu), berarti zakat tidak mencakup hak yang sifatnya sunnah atau tathawwu’, seperti shadaqah tathawwu’ (sedekah sunnah).
Sedangkan ungkapan “pada harta-harta tertentu” (fi amwaalin mu’ayyanah) berarti zakat tidak mencakup segala macam harta secara umum, melainkan hanya harta-harta tertentu yang telah ditetapkan berdasarkan nash-nash syara’ yang khusus, seperti emas, perak, onta, domba, dan sebagainya.
Bagaimana kaitan atau perbedaan definisi zakat ini dengan pengertian infaq dan shadaqah? Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah) (Al Jurjani, tt : 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (denda) berupa harta adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infaq. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.
Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif, yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan, bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).
Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :
1. Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan (Mahmud Yunus, 1936 : 33, Wahbah Az Zuhaili, 1996 : 919). Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah (Az Zuhaili 1996 : 916). Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah (Az Zuhaili 1996 : 751). Namun seperti uraian Az Zuhaili (1996 : 916), hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ :“Al wasilatu ilal haram haram”, “Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali denganshadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”, “Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.
2. Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983 : 148). Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT : “Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman : “…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain. Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.
3. Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).
Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).
Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan : “Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”, “Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151)
Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)
Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.
Karena itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata “shadaqah” dalam ayat di atas bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah (Ibnu Katsir, 1989 : 400). As Sayyid As Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah Juz I (1992 : 277) juga menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang wajib, maupun shadaqah tathawwu’.
oleh: Muhammad Shiddiq Al Jawi
Read More..

DOA NABI HIDIR AS (Doa Menolak Bala)

بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمَنِ الرَّ حِيْمِ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَّى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
دُ عَاء الفرَج لِسَيِّدِنَا الخِضِرْ عَلَيْة السَّلاَم

اَللَّهُمَّ كَمَا لَطَفْتَ فِى عَظَمَتِكَ دُونَ اللّطَفَاءِ وَعَلوْتَ بِعَظَمَتِكَ عَلَى الْعُظَمَاءِ ، وَعَلِمْتَ مَاتَحْتَ أَرِضِكَ كَعِلْمِكَ بِمَا فَوْقَ عَرْشِكَ ، وَكَا نَتِ وَسَاوسُ الصدورِ كَاْلعَلاَ نِيَّة عِنْدَكَ ، وَعَلاَ نَّيِةُ اْلقَوْلِ كَالسَّر فِى عِلْمِكَ ، وَانْقَادَ كُلُّ شَىْء لِعَظَمَتِكَ ، وَخَضَعَ كُلُّ ذِى سُلْطَانٍ لسُلْطَانِكَ ، وَصَارَ أَمْرُ الدُّنْيَا والاَخِرَةِ كُلُّه بِيَدِكَ . اِجْعَلْ لِى مِنْ كُلَ هَمٍ أَصْبَحْتُ أَوْ أَمْسَيْتُ فِيهِ فَرَجَا وَمَخرَ جَا اللَّهُمَّ إِنَّ عَفَوَكَ عَنْ ذُنُوبِى ،  وَتَجَاوَزَكَ عَنْ خَطِيئَتىِ ، وَسِتْركَ عَلَى قَبِيحِ عَمَلِى ، أَطمِعْني أَنْ أَسْألَُكَ مَا لاَ أَسْتَوْجِبُهُ مِنْكَ مِمَّا قَصَّرْتُ فِيهِ ، أَدْعُوكَ اَمِنا وَأَسْأ لك مُسْتَأنِسَا . وَإِنَّكَ الْمحْسِنُ إِلَّى ، وَأَنَا الْمُسِى إلى نَفْسِى فِيِمَا بَيْنِى وَبَيْنَكَ ، تَتَوَدَدُ إِلىَّ بِنِعْمَتِكَ وَأَتَبَغَّضُ إلَيْكَ بِالْمعَاصِى وَلَكِنَّ الثَّقَةُ بِكَ حَمَلَتْنِى علَى الْجراءَةِ عَلَيْكَ فَعُدْ بِفَضْلِكَ وإحْسِانِكَ عَلَي إِنَّكَ أَنْتَ التَّوِابُ الَّرَحِيم وَصَلَ الله ُعَلَى سَيِدِنَا مُحَمَّدٍ وَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
Read More..
 
Powered By Blogger | Portal Design By Trik-tips Blog © 2009 | Resolution: 1024x768px | Best View: Firefox | Top