Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris pendiri madzhab Syafi'i. Beliau termasuk golongan suku Quraisy, seorang Hasyimi dan masih memiliki hubungan keluarga jauh Nabi SAW. Lahir di Ghaza tahun 767 M. Ia berstatus yatim ketika masih kanak-kanak dan dibesarkan oleh ibunya dalam kemiskinan.
Beliau menghafal Al-Qur'an di Makkah. Di samping mempunyai pengetahuan luas tentang syair-syair Arab. Beliau belajar hadits dan fiqh dari Muslim Abu Khalid dan Sufyan ibn Uyainah. Beliau telah hafal Muwatta pada usia 12 tahun. Ketika usia 20, ia menemui Imam Malik ibn Anas di Madinah dan membaca langsung Muwatta dengan ingatannya di depan Imam itu dan ini sangat dihargai oleh sang Imam. Beliau tinggal bersama Imam Malik sampai pada akhir hayat Imam tersebut, tahun 795 M.
Karena keadaan keuangannya yang buruk, beliau terpaksa menjadi pejabat pemerintahan di Yaman. Lalu beliau pindah ke Baghdad. Di kota ini beliau akrab dengan ilmuwan madzhab Hanafi yang terkenal yaitu Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani.
Tahun 804 M, beliau berangkat ke Suriah dan Mesir melalui Harran. Di Mesir kedatangannya dielu-elukan para murid Imam Malik. Beliau mengajar fiqh selama enam tahun di Kairo dan kembali ke Baghdad tahun 810 M, tempat beliau sukses sebagai guru. Di Baghdad banyak ilmuwan Irak yang menjadi muridnya. Pada Tahun 814 M, beliau pulang ke Mesir, tetapi karena ada kerusuhan beliau terpaksa berangkat ke Makkah.
Beliau kembali lagi ke Mesir tahun 814/816 M, dan seterusnya bermukim di sana. Beliau wafat pada 20 Januari 820 M (29 Rajab 204 H) dan dimakamkan di pemakaman Banu Abd.
Seperti pendahulunya, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, Imam Syafi'i juga menolak menjadi qadi rezim Abbasiyah. Tahun-tahun kediamannya di Irak dan Mesir merupakan periode kegiatannya yang intensif. Waktunya dimanfaatkan untuk membaca dan berceramah. Kehidupan sehari-harinya amat teratur, dan beliau membagi waktunya secara sistematis sehingga jarang menyimpang dari rencana yang tetap.
Menurut Encyclopedia of Islam, as-Syafi'i dapat digambarkan sebagai seorang penimbang yang baik sehingga menjadi penengah antara peneliti data hukum yang beraliran bebas dan ahli hadits. Beliau tidak saja menelaah data hukum yang ada, tetapi dalam risalahnya beliau juga menyelidiki prinsip dan metode fiqh. Beliau dianggap sebagai pencetus Usulul-Fiqh. Berbeda dengan kaum Hanafi, ia mencoba meletakkan aturan-aturan umum qiyas, namun ia tidak menyentuh istihsan. Prinsip istishhab tampaknya diperkenalkan untuk pertama kali oleh angkatan Syafi'i yang lebih muda. Dalam Madzhab as-Syafi'i, selalu dikenal adanya dua era kreatif, yaitu era awal (Qaul Qadim) di Irak, dan era belakangan (Qaul Jadid) yang dicetuskan di Mesir.
Dalam karya tulisnya beliau memanfaatkan dialog dengan baik. Beliau menguraikan prinsip-prinsip fiqh dalam ar-Risalah, dan mencoba menjembatani fiqh Hanafi dan Maliki. Himpunan tulisan dan ceramahnya di Kitabul Umm merupakan bukti kecendekiaannya.
Beliau memusatkan kegiatannya di Baghdad dan Kairo. Di atas segalanya beliau menaati Al-Qur'an, kemudian As-Sunnah. Hadits yang paling sahih diberikannya pertimbangan yang sama seperti Al-Qur'an.
Dalam diri Imam Syafi'i tergabung keahlian prinsip-prinsip fiqh Islam dan penggunaan bahasa rakyat Hijaz dan Mesir dengan lancar, sehingga ia tidak tertandingi dalam percakapan maupun tulisan. Karya tulisnya lebih baik dari penulis Arab yang terbaik pada masanya.
Ajaran Imam Syafi'i meluas dari Baghdad dan Kairo sampai ke seluruh Mesir, Irak, dan Hijaz. Muridnya yang terkemuka ialah al-Muzani, al-Humaidi, Ahmad ibn Hanbal, dan al-Karabasi.
Pada abad ketiga dan keempat, penganut kaum Syafi'i semakin banyak di Baghdad dan Kairo. kemudian Pada abad keempat, Makkah dan Madinah menjadi pusat ajaran Syafi'i, di samping Mesir.
Di bawah Sultan Salahuddin Ayyubi, madzhab Syafi'i menjadi madzhab utama, meski Sultan Baibars mengakui juga madzhab fiqh yang lain dan mengangkat para hakim dari keempat madzhab yang ada.
Sebelum kekuasaan Ottoman, kaum Syafi'i paling unggul di pusat wilayah Islam. Selama awal abad ke-16 M, Ottoman mengganti Syafi'i dengan Hanafi. Walau begitu, ajaran Syafi'i tetap unggul di Mesir, Suriah, Hijaz dan masih banyak dipelajari di universitas al-Azhar, Kairo. Fiqh Syafi'i masih banyak dianut oleh Muslimin di Arab Selatan, Bahrain, Kepulauan Melayu, sebagian Afrika Timur dan Asia Tengah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar