Bab I
PENDAHULUAN
Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis tersebar di sepanjang Jazirah Arab. Setiap suku mempunyai format dialek (lahjah) yang typical dan berbeda dengan suku-suku lain. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun demikian, mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari keyataan diatas, sebenarnya kita dapat memahami alasan al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
Disisi lain, perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri. Dengan melihat beragamya dialek, sebenarnya bersifat alami (natural), artinya tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. sendiri membenarkan pelafalan al-Quran dengan berbagai macam-macam qira’at.
Qira’at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam Ulum al-Quran, tetapi tidak banyak orang tertarik dengan ilmu qira’at. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya, karena memang ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan mu’amalah manusia sehari-hari. Ilmu Qira’at berbeda dengan ilmu fiqih, hadits dan tafsir misalnya. Sebab ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Akan terasa asing kedengarannya kalau ada orang berceramah diatas mimbar membicarakan masalah qira’at. Masyarakat umum tentu akan kesulitan menerimanya, bahkan mereka akan bertanya-tanya: “Apakah yang di maksud qira’at?” atau, “untuk apa masalah seperti ini disampaikan?”.
Berangkat dari problem ini, makalah akan sedikit menjelaskan: apa itu qira’at, macam-macamnya dan lain sebagainya akan dijelaskan dalam pembahasan berikutnya. Semoga makalah yang kami buat ini bermanfaat. Selamat membaca!
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian
Berdasarkan etimologi (bahasa), qira`at jamak dari qira`ah, yang merupakan isim mashdar dari qara`a. Qiro’ah artinya bacaan. Adapun secara terminologi (istilah): ”Ilmu yang mempelajari tata cara manyampaikan atau membaca kalimat-kalimat al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya yang disandarkan kepada orang yang menukilnya”.
Akan tetapi dalam membicarakan definisi konsep qira`at, para ulama’ menggunakan berbagai definisi yang cukup beragam sesuai dengan paradigma yang dipakai. Namun perbedaan cara pendefinisian sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyngkut ruang lingkup pebedaan diantara beberapa qira’at yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qira`at yang dapat ditangkap dari definisi di atas, yaitu:
1. Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2. Cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi, sehingga bersifatnya tauqifi, bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira`at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl.
Menurut Az-Zarqani mengistilahkan qira`at dengan: ”Suatu madzab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurro` yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baiknya itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.
B. Macam-Macam Qira’at
Pertama, macam-Macam Qira’at Dari Segi kuantitas/ jumlahnya. Adapun sebutan qira`at dari segi jumlah qira’at ada bernacam-macam. Ada yang bernama qira`at tujuh, qira`at delapan, qira`at sepuluh, qira`at sebelas, qira`at tiga belas, dan qira`at empat belas. Tetapi dari sekian macam jumlah qira`at yang dibukukan, hanya tiga macam qira’at yang terkenal yaitu:
1. Qira`at al-Sab’ah: ialah qira`at yang dinisbatkan kepada para imam qurro` yang tujuh yang masyhur. Mereka adalah: Nafi`, Ibnu Katsir, Abu Amru, Ibnu Amir, Ashim, Hamzah dan Kisa`i.
2. Qira`at ‘asyroh: ialah qira`at sab’ah diatas ditambah dengan tiga qira`at lagi, yang disandarkan kepada : Abu Ja’far, Ya’qub dan Khalaf Al-‘Asyir.
3. Qira`at arba’: ialah qira`at ‘asyrah yang lalu ditambah dengan empat qira’ah lagi, yang disandarkan kepada: Ibnu Muhaishin, Al-Yazidi, Hasan Al-Bashri dan Al-A’masy.
Dari tiga macam qira’at ini, qira’at sab’ah-lah yang paling masyhur dan terkenal, menyusul qira`at ‘asyrah.
Kedua, dari segi kualitas, berdasarkan penelitian al-Jazari, qira`at berdasarkan kualitas dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
1. Qira`at Mutawatir, yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari orang banyak yang tidak mungkin terjadi kesepakatan di antara mereka untuk berbohong.
2. Qira`at Masyhur, yakni qira’at yang memilki sanad sahih, tetapi tidak sampai kepada kualitas mutawatir. Qira`at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan Mushaf ‘Utsmani, masyhur dikalangan qurro`, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan al-Jazari, dan tidak termasuk qira`at yang keliru. Umpamanya, qira`at dari imam tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh itu, sementara yang lainnya tidak. Dan qira’at semacam ini, banyak digambarkan dalam kitab-ktab qira`at, misalya At-Taisir karya Ad-Dani, Qashidah karya Asy-Syatibi, Au’iyyah An-Nasyr fi Al-Qira’ah al-‘Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang terakhir ditulis Ibn Al-Jazari.
3. Qira`at Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menylahi tulisan Mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memilki kemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana ketetuan yang telah ditetapkan Al-Jazari. At-Turmudzi dalam kitab Jami’-nya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya menempatkan qira`at seperti ini dalam bahasa khususnya, diantara riwayat yang dikeluarkan Al-Hakim melalui ‘Ashim Al-Jahdiri, dari Abu Bakah yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. membaca ayat:
“Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah”.(QS:55:76).
Qira’at versi Mushaf ‘Utsmani berbunyi:
4. Qira’at Syadz (menyimpang): yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini. Diantaranya adalah:
”Yang meguasai hari pembalasan.”
Qira’at versi Mushaf’ Utsmani berbunyi:
5. Qira’at Maudhu’(palsu), yaitu qira’at yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seorang tanpadasar. Seperti qira’at yang disusun oleh Abu Al-Fadhl Muhammad bin Ja’far dan mensbtkannya kepada Imam Abu Hanifah. Misalnya:
Dengan merofa’kan lafdhul jalalah dan menashabkan hamzah dari kalimat (العلماء). Padahal qiro’qt yang benar adalah sebaliknya. Qira’at seperti ini tidak ada dasarnya. Dan imam Abu Hanifah bersih dari semua itu.
Qira’at jenis ini tidak boleh dipakai di dalam da di luar shalat. Bahkan harus ditolakdan diingkari keberadaannya.
6. Qira’at Syabih bi al-mudroj, yaitu qira’at yang mirip dengan mudroj dari macam-macam hadis. Dia adalah qira’at yang didalamnya ditambah kalimat sebagai tafsir dari ayat tersebut. Seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqqosh yang berbunyi surat an-nisa ayat 12 وَلهُ أَخٌ أوْ أ ُختٌ من أ ُمّ
Qira’at versi Utsmani berbunyi:
وَلهُ أَخٌ أوْ أ ُختٌ tanpa adanya penambahan (من أ ُمٍّ )
Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama’ dalam menetapkan qira’at yang sahih adalah sebagai berikut:
a. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih. Sebab, qora`at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
b. Bersesuai dengan salah satu kaidah penulisan Mushaf ‘Ustman walaupun hanya kemungkinan (ihtimal) atau mendekati. Misalnya, lafadz maliki yaumi al-din (ما لك يوم الدين), dituliskan pada semua mushaf dengan membuang alif, sehingga dibaca pendek pada lafadz maliki (ملك)
c. Memiliki sanad yang sahih atau jalan periwayatannya benar, sebab qira`at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada penukilan dan kesahihan riwayat.
C. Penyebab Perbedaan Qira’at
Sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda adalah:
1. Perbedaan qira’at Nabi: artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’at. Misalnya, Nabi pernah membaca surat As-Sajdah (32) ayat 17 sebagai berikut:
2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum Muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek diantara mereka dalam mengucapkan kata-kata didalam al-Qur’an. Contohnya:
a. Ketika seorang Hudzail membaca dihadapan Rasul atta hin, pada hal ia menghendaki hatta hin. Rasul pun membolehkannya sebab memang begitulah orang Hudzail mengucapkan dan menggunakannya.
b. Ketika orang Asadi membaca di hadapan Rasul tiswaddu wujuh, huruf ta’ pada kata tiswaddu dikasrahkan. Dan alam i’had (dikasrahkan), Rasul pun membolehkanya, sebab demikianlah orang Asadi menggunakan dan mengucapkannya.
c. Ketika seorang Tamim mangucapkan hamzah pada suatu kata yang tidak diucapkan orang Quraisy, Rasul pun membolehkannya, sebab demikianlah orang Tamim menggunakan dan mengucapkanya.
d. Ketika seorang qari’ membawa wa idza qila lahum dan qhidha al-ma’u dengan menggabungkan dhammah kepada kasrah, Rasul pun membolehkannya sebab demikianlah ia menggunakan dan mengucapkanya.
3. Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
4. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan dikalanghan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
D. Urgensi Mempelajari Qira`at dan Pengaruhnya dalam Mengistinbath Hukum
Perbedaan anatara satu qira`ah dan qira`ah lainnya bisa terjadi perbedaan huruf, bentuk, kata, susunan kalimat, dan lain-lain. Perbedaan ini tentu sedikit atau banyak membawa perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hokum diistinbath. Urgensi perbedaan qir`at terhadap hukum yaitu:
1. ilmu qira`at dapat menguatkan ketentuan hokum yang telah disepakati para ‘Ulama. Misalnya, berdasarkan surat al-Nisa` ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Namun dalam qira`at syadz, Sa’ad bin Abi Waqash memberi tambahan ungkapan min umm (من أم), sehingga dapat memperkuat dan mengukuhkan ktetapan hukum yang telah disepakati.
2. menarjih hukum yang diperselisihkan para ‘Ulama.
3. menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbea.
4. menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
5. dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknanya.
Adapun pengaruh perbedaan qira`at dalam istinbath hukum, juga memperlihatkan pengaruh. Sebagaimana dikatakan al-Zarkasyi, bahwa perbedaan dengan qira`at timbullah perbedaan dalam hukum. Beliau menyebutkan masalah batalnya wudhu` orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira`at pada “kamu sentuh” dan “kamu saling menyentuh”.
D. AL-SAB’AH AHRUFIN DALAM AL-QUR’AN
Ada yang berpendapat bahwa qira`at tujuh identik dengan hadis Nabi SAW. yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Diantara hadis Nabi yang menyatakan hal tersebut adalah
”Rasul Allah saw. bersabda: sesungguhnya al-Qur’anini diturunkan dalam tujuh huruf, bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Shubhi al-Shalih, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah tujuh macam bacaan yang diajarkan oleh Rasulallah dan tidak identik dengan qira`at al-sab’ah yang popular dalam dunia Islam.Istilah tersebut (baca: qira`at al-sab’ah) baru lahir pada penghujunng abad II H, dipelopori Ibn Mujahid.
Sedangkan kata “ahruf”, dalam hadis nabi tersebut, secara lughawi merupakan bentuk jamak dari “harf” yang bermakna musytarak (mempunyai banyak arti) dapat berarti puncak, satu ejaan huruf, tepi sesuatu, bentuk, dan sebagainya. Karena itu, sab’ah ahruf bisa diartikan tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh makna, tujuh bacaan, dan tujuh bentuk . Akan tetapi, pengertian hadis tersebut Hafizh Abu ‘Amr al-Dani mengandung dua kemungkinan. Pertama, berarti “tujuh cara membaca dari berbagai bahasa”. Kedua, berarti “bacaan” sesuai dengan kebiasaan bangsa Arab menamakan sesuatu dengan salah satu bagian terpenting yang terdapat padanya dan bacaan tidak mungkin terjadi tanpa adanya huruf .
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf yang tujuh ialah segi-segi lafadz yang bermacam-macam di dalam satu kalimat dan satu makna, seperti: halumma, aqbala, ta’aala, ‘ajal, asri’, fashaddi, dan nahwiyyi . Namun sebagian besar ‘Ulama berpendapat bahwa tujuh huruf itu ialah tujuh bahasa, yang menurut Abu Ubayd terdiri atas bahasa: Quraisy, Hudzayl, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Hal ini menunjukkan banyaknya kemungkinan cara membaca al-Qur’an yang dibolehkan untuk memberi kemudahan bagi kaum muslimin yang pada pokoknya terdiri dari orang-orang arab yang menggunakan lahjah pada masa turunnya al-Qur’an. Untuk mewujudkan kemudahan ini maka terjadilah sebagian perubahan huruf, kata, kalimat, ataupun susunan kalimat dalam sebagian ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu, ungkapan tentang al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf ini lebih tepat diartikan sebagai tujuh bentuk perbedaan bacaan al-Qur’an. Adapun secara garis besar bentuk perbedaan itu dapat diperhatikan sebagai berikut:
BAB III
KESIMPULAN
Mempelajari qira`at dapat meringankan dan memudahkan bagi umat Islamsemuanya. Khususnya kaum arab pada masa-masa awal yang diajak berdialog oleh al-Qur’an, padahal mereka terdiri dari banyak. Selain itu qira`at dapat membantu dalam bidang tafsir. Merupakan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad saw. atas umat-umat pendahulunya. Karena kitab-kitab yang dahulu turun hanya dengan satu segi dan dalam satu qira`ah, berbeda al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Akaha, Abduh Zulfidar. 1996. Al-Qur’a dan Qira`at. Jakarta: Pustaka Al-kautsar.
Anwar, M.Ag., Drs. Rosihon. 2000.Ulumul Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia.
Baidan, Prof. Dr. Nashruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qaththan, Manna`. 2006. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Jakarta: Putaka al Kautsar.
Qiraat Yang Masyhur
Pengertiannya dan perkembangannya dari awal hingga para tokoh yang ada di dalam pengembangannya.
Pada pembahasan yang terakhir ini kami menganggap penting untuk membicarakan sekelumit tentang qira'at-qira'at. Bagaimana timbulnya dan siapa tokohnya yang terkenal.
1. Pengertian Qira'at
Al-Qira'at adalah bentuk mashdar dari qara'a - yaqra'u - qirâ'atan. Menurut istilah qira'at ialah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur'an yang dipakai oleh salah seorang imam qura' yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al-Qur'anul Karim. Qira'at ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.
2. Apakah pada masa Sahabat sudah ada qari-qari?
Benar ada. Periode qura' yang mengajarkan bacaan Al-Qur'an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan standard dari masa sahabat yang mulia.
Diantara sahabat yang populer dengan bacaannya adalah: Ubay, Aly, Zaid ibnu Tsabit, Ibnu Mas'ud. Abu Musa al-Asy'ary dan lain-lain. Dari mereka itulah kebanyakan para sahabat dan tabi'in di seluruh daerah belajar. Mereka itu semuanya berpedoman kepada Rasulullah SAW sampai dengan datangnya masa tabi'in pada permulaan abad ke-2 H. Selanjutnya timbul golongan-golongan yang begitu memperhatikan adanya tanda baca secara sempurna manakala diperlukan dan mereka menjadikannya sebagai satu cabang dari ilmu sebagaimana halnya ilmu-ilmu syari'at yang lain.
Bagaimanakah sejarah timbulnya Qira'at??
Telah kami ketahui terdahulu bahwa periodesasi qurra' adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa tabi'in. Orang-orang yang menguasai tentang Al-Qur'an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam demi imam yang akhirnya berasal dari Nabi.
Sedangkan mushhaf-mushhaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat di dalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushhaf dengan satu wajah kemudian ditulis pada mushhaf lain dengan wajah yang lain dan begitulah seterusnya.
Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan adalah merupakan pedoman dasar dalam bab qira'at dan Al-Qur'an.
Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf sedang yang lain ada yang mengambilnya dan huruf/bacaan. Dan bahkan yang lain lagi ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka bertebaran ke seluruh penjuru daerah dalam keadaan semacam ini.
Utsman r.a. ketika mengirim mushhaf-mushhaf ke seluruh penjuru kota ia mengirimkan pula orang yang sesuai bacaannya mempunyai satu segi bacaan dan yang lainnya ada pula yang lebih dari itu. Oleh karena itulah timbulnya banyak perbedaan dan kurang adanya keseragaman antara sesamanya.
Pada masa itu himbauan tokoh-tokoh dan pemimpin ummat untuk bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa membedakan antara bacaan yang benar dan yang tidak benar. Mereka mengumpulkan huruf dan qira'at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah, menjelaskan yang benar dan yang salah serta yang berkembang dan yang punah dengan pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan segi-segi yang mereka utamakan.(1)
(1). Manahilul 'Irfan, juz I, hal: 407
PENDAHULUAN
Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis tersebar di sepanjang Jazirah Arab. Setiap suku mempunyai format dialek (lahjah) yang typical dan berbeda dengan suku-suku lain. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun demikian, mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari keyataan diatas, sebenarnya kita dapat memahami alasan al-Quran diturunkan dengan menggunakan bahasa Quraisy.
Disisi lain, perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri. Dengan melihat beragamya dialek, sebenarnya bersifat alami (natural), artinya tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. sendiri membenarkan pelafalan al-Quran dengan berbagai macam-macam qira’at.
Qira’at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam Ulum al-Quran, tetapi tidak banyak orang tertarik dengan ilmu qira’at. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya, karena memang ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan mu’amalah manusia sehari-hari. Ilmu Qira’at berbeda dengan ilmu fiqih, hadits dan tafsir misalnya. Sebab ilmu qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Akan terasa asing kedengarannya kalau ada orang berceramah diatas mimbar membicarakan masalah qira’at. Masyarakat umum tentu akan kesulitan menerimanya, bahkan mereka akan bertanya-tanya: “Apakah yang di maksud qira’at?” atau, “untuk apa masalah seperti ini disampaikan?”.
Berangkat dari problem ini, makalah akan sedikit menjelaskan: apa itu qira’at, macam-macamnya dan lain sebagainya akan dijelaskan dalam pembahasan berikutnya. Semoga makalah yang kami buat ini bermanfaat. Selamat membaca!
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian
Berdasarkan etimologi (bahasa), qira`at jamak dari qira`ah, yang merupakan isim mashdar dari qara`a. Qiro’ah artinya bacaan. Adapun secara terminologi (istilah): ”Ilmu yang mempelajari tata cara manyampaikan atau membaca kalimat-kalimat al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya yang disandarkan kepada orang yang menukilnya”.
Akan tetapi dalam membicarakan definisi konsep qira`at, para ulama’ menggunakan berbagai definisi yang cukup beragam sesuai dengan paradigma yang dipakai. Namun perbedaan cara pendefinisian sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyngkut ruang lingkup pebedaan diantara beberapa qira’at yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qira`at yang dapat ditangkap dari definisi di atas, yaitu:
1. Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2. Cara pelafalan ayat-ayat al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi, sehingga bersifatnya tauqifi, bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira`at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan washl.
Menurut Az-Zarqani mengistilahkan qira`at dengan: ”Suatu madzab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurro` yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baiknya itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.
B. Macam-Macam Qira’at
Pertama, macam-Macam Qira’at Dari Segi kuantitas/ jumlahnya. Adapun sebutan qira`at dari segi jumlah qira’at ada bernacam-macam. Ada yang bernama qira`at tujuh, qira`at delapan, qira`at sepuluh, qira`at sebelas, qira`at tiga belas, dan qira`at empat belas. Tetapi dari sekian macam jumlah qira`at yang dibukukan, hanya tiga macam qira’at yang terkenal yaitu:
1. Qira`at al-Sab’ah: ialah qira`at yang dinisbatkan kepada para imam qurro` yang tujuh yang masyhur. Mereka adalah: Nafi`, Ibnu Katsir, Abu Amru, Ibnu Amir, Ashim, Hamzah dan Kisa`i.
2. Qira`at ‘asyroh: ialah qira`at sab’ah diatas ditambah dengan tiga qira`at lagi, yang disandarkan kepada : Abu Ja’far, Ya’qub dan Khalaf Al-‘Asyir.
3. Qira`at arba’: ialah qira`at ‘asyrah yang lalu ditambah dengan empat qira’ah lagi, yang disandarkan kepada: Ibnu Muhaishin, Al-Yazidi, Hasan Al-Bashri dan Al-A’masy.
Dari tiga macam qira’at ini, qira’at sab’ah-lah yang paling masyhur dan terkenal, menyusul qira`at ‘asyrah.
Kedua, dari segi kualitas, berdasarkan penelitian al-Jazari, qira`at berdasarkan kualitas dapat dikelompokkan dalam lima bagian:
1. Qira`at Mutawatir, yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari orang banyak yang tidak mungkin terjadi kesepakatan di antara mereka untuk berbohong.
2. Qira`at Masyhur, yakni qira’at yang memilki sanad sahih, tetapi tidak sampai kepada kualitas mutawatir. Qira`at ini sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan Mushaf ‘Utsmani, masyhur dikalangan qurro`, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan al-Jazari, dan tidak termasuk qira`at yang keliru. Umpamanya, qira`at dari imam tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda. Sebagian perawi, misalnya, meriwayatkan dari imam tujuh itu, sementara yang lainnya tidak. Dan qira’at semacam ini, banyak digambarkan dalam kitab-ktab qira`at, misalya At-Taisir karya Ad-Dani, Qashidah karya Asy-Syatibi, Au’iyyah An-Nasyr fi Al-Qira’ah al-‘Asyr, dan An-Nasyr (kedua kitab yang terakhir ditulis Ibn Al-Jazari.
3. Qira`at Ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menylahi tulisan Mushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memilki kemasyhuran, dan tidak dibaca sebagaimana ketetuan yang telah ditetapkan Al-Jazari. At-Turmudzi dalam kitab Jami’-nya dan Al-Hakim dalam Mustadrak-nya menempatkan qira`at seperti ini dalam bahasa khususnya, diantara riwayat yang dikeluarkan Al-Hakim melalui ‘Ashim Al-Jahdiri, dari Abu Bakah yang menyebutkan bahwa Nabi Saw. membaca ayat:
“Mereka bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah”.(QS:55:76).
Qira’at versi Mushaf ‘Utsmani berbunyi:
4. Qira’at Syadz (menyimpang): yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini. Diantaranya adalah:
”Yang meguasai hari pembalasan.”
Qira’at versi Mushaf’ Utsmani berbunyi:
5. Qira’at Maudhu’(palsu), yaitu qira’at yang dibuat-buat dan disandarkan kepada seorang tanpadasar. Seperti qira’at yang disusun oleh Abu Al-Fadhl Muhammad bin Ja’far dan mensbtkannya kepada Imam Abu Hanifah. Misalnya:
Dengan merofa’kan lafdhul jalalah dan menashabkan hamzah dari kalimat (العلماء). Padahal qiro’qt yang benar adalah sebaliknya. Qira’at seperti ini tidak ada dasarnya. Dan imam Abu Hanifah bersih dari semua itu.
Qira’at jenis ini tidak boleh dipakai di dalam da di luar shalat. Bahkan harus ditolakdan diingkari keberadaannya.
6. Qira’at Syabih bi al-mudroj, yaitu qira’at yang mirip dengan mudroj dari macam-macam hadis. Dia adalah qira’at yang didalamnya ditambah kalimat sebagai tafsir dari ayat tersebut. Seperti qira’at Sa’ad bin Abi Waqqosh yang berbunyi surat an-nisa ayat 12 وَلهُ أَخٌ أوْ أ ُختٌ من أ ُمّ
Qira’at versi Utsmani berbunyi:
وَلهُ أَخٌ أوْ أ ُختٌ tanpa adanya penambahan (من أ ُمٍّ )
Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama’ dalam menetapkan qira’at yang sahih adalah sebagai berikut:
a. Bersesuaian dengan kaidah bahasa Arab, baik yang fasih atau paling fasih. Sebab, qora`at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
b. Bersesuai dengan salah satu kaidah penulisan Mushaf ‘Ustman walaupun hanya kemungkinan (ihtimal) atau mendekati. Misalnya, lafadz maliki yaumi al-din (ما لك يوم الدين), dituliskan pada semua mushaf dengan membuang alif, sehingga dibaca pendek pada lafadz maliki (ملك)
c. Memiliki sanad yang sahih atau jalan periwayatannya benar, sebab qira`at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada penukilan dan kesahihan riwayat.
C. Penyebab Perbedaan Qira’at
Sebab-sebab munculnya beberapa qira’at yang berbeda adalah:
1. Perbedaan qira’at Nabi: artinya dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’at. Misalnya, Nabi pernah membaca surat As-Sajdah (32) ayat 17 sebagai berikut:
2. Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum Muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek diantara mereka dalam mengucapkan kata-kata didalam al-Qur’an. Contohnya:
a. Ketika seorang Hudzail membaca dihadapan Rasul atta hin, pada hal ia menghendaki hatta hin. Rasul pun membolehkannya sebab memang begitulah orang Hudzail mengucapkan dan menggunakannya.
b. Ketika orang Asadi membaca di hadapan Rasul tiswaddu wujuh, huruf ta’ pada kata tiswaddu dikasrahkan. Dan alam i’had (dikasrahkan), Rasul pun membolehkanya, sebab demikianlah orang Asadi menggunakan dan mengucapkannya.
c. Ketika seorang Tamim mangucapkan hamzah pada suatu kata yang tidak diucapkan orang Quraisy, Rasul pun membolehkannya, sebab demikianlah orang Tamim menggunakan dan mengucapkanya.
d. Ketika seorang qari’ membawa wa idza qila lahum dan qhidha al-ma’u dengan menggabungkan dhammah kepada kasrah, Rasul pun membolehkannya sebab demikianlah ia menggunakan dan mengucapkanya.
3. Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
4. Adanya lahjah atau dialek kebahasaan dikalanghan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
D. Urgensi Mempelajari Qira`at dan Pengaruhnya dalam Mengistinbath Hukum
Perbedaan anatara satu qira`ah dan qira`ah lainnya bisa terjadi perbedaan huruf, bentuk, kata, susunan kalimat, dan lain-lain. Perbedaan ini tentu sedikit atau banyak membawa perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hokum diistinbath. Urgensi perbedaan qir`at terhadap hukum yaitu:
1. ilmu qira`at dapat menguatkan ketentuan hokum yang telah disepakati para ‘Ulama. Misalnya, berdasarkan surat al-Nisa` ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Namun dalam qira`at syadz, Sa’ad bin Abi Waqash memberi tambahan ungkapan min umm (من أم), sehingga dapat memperkuat dan mengukuhkan ktetapan hukum yang telah disepakati.
2. menarjih hukum yang diperselisihkan para ‘Ulama.
3. menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbea.
4. menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula.
5. dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang mungkin sulit dipahami maknanya.
Adapun pengaruh perbedaan qira`at dalam istinbath hukum, juga memperlihatkan pengaruh. Sebagaimana dikatakan al-Zarkasyi, bahwa perbedaan dengan qira`at timbullah perbedaan dalam hukum. Beliau menyebutkan masalah batalnya wudhu` orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira`at pada “kamu sentuh” dan “kamu saling menyentuh”.
D. AL-SAB’AH AHRUFIN DALAM AL-QUR’AN
Ada yang berpendapat bahwa qira`at tujuh identik dengan hadis Nabi SAW. yang menyatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf. Diantara hadis Nabi yang menyatakan hal tersebut adalah
”Rasul Allah saw. bersabda: sesungguhnya al-Qur’anini diturunkan dalam tujuh huruf, bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Shubhi al-Shalih, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah tujuh macam bacaan yang diajarkan oleh Rasulallah dan tidak identik dengan qira`at al-sab’ah yang popular dalam dunia Islam.Istilah tersebut (baca: qira`at al-sab’ah) baru lahir pada penghujunng abad II H, dipelopori Ibn Mujahid.
Sedangkan kata “ahruf”, dalam hadis nabi tersebut, secara lughawi merupakan bentuk jamak dari “harf” yang bermakna musytarak (mempunyai banyak arti) dapat berarti puncak, satu ejaan huruf, tepi sesuatu, bentuk, dan sebagainya. Karena itu, sab’ah ahruf bisa diartikan tujuh bahasa, tujuh ilmu, tujuh makna, tujuh bacaan, dan tujuh bentuk . Akan tetapi, pengertian hadis tersebut Hafizh Abu ‘Amr al-Dani mengandung dua kemungkinan. Pertama, berarti “tujuh cara membaca dari berbagai bahasa”. Kedua, berarti “bacaan” sesuai dengan kebiasaan bangsa Arab menamakan sesuatu dengan salah satu bagian terpenting yang terdapat padanya dan bacaan tidak mungkin terjadi tanpa adanya huruf .
Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf yang tujuh ialah segi-segi lafadz yang bermacam-macam di dalam satu kalimat dan satu makna, seperti: halumma, aqbala, ta’aala, ‘ajal, asri’, fashaddi, dan nahwiyyi . Namun sebagian besar ‘Ulama berpendapat bahwa tujuh huruf itu ialah tujuh bahasa, yang menurut Abu Ubayd terdiri atas bahasa: Quraisy, Hudzayl, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Hal ini menunjukkan banyaknya kemungkinan cara membaca al-Qur’an yang dibolehkan untuk memberi kemudahan bagi kaum muslimin yang pada pokoknya terdiri dari orang-orang arab yang menggunakan lahjah pada masa turunnya al-Qur’an. Untuk mewujudkan kemudahan ini maka terjadilah sebagian perubahan huruf, kata, kalimat, ataupun susunan kalimat dalam sebagian ayat-ayat al-Qur’an. Karena itu, ungkapan tentang al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf ini lebih tepat diartikan sebagai tujuh bentuk perbedaan bacaan al-Qur’an. Adapun secara garis besar bentuk perbedaan itu dapat diperhatikan sebagai berikut:
BAB III
KESIMPULAN
Mempelajari qira`at dapat meringankan dan memudahkan bagi umat Islamsemuanya. Khususnya kaum arab pada masa-masa awal yang diajak berdialog oleh al-Qur’an, padahal mereka terdiri dari banyak. Selain itu qira`at dapat membantu dalam bidang tafsir. Merupakan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad saw. atas umat-umat pendahulunya. Karena kitab-kitab yang dahulu turun hanya dengan satu segi dan dalam satu qira`ah, berbeda al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Akaha, Abduh Zulfidar. 1996. Al-Qur’a dan Qira`at. Jakarta: Pustaka Al-kautsar.
Anwar, M.Ag., Drs. Rosihon. 2000.Ulumul Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia.
Baidan, Prof. Dr. Nashruddin. 2005. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Al-Qaththan, Manna`. 2006. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Jakarta: Putaka al Kautsar.
Qiraat Yang Masyhur
Pengertiannya dan perkembangannya dari awal hingga para tokoh yang ada di dalam pengembangannya.
Pada pembahasan yang terakhir ini kami menganggap penting untuk membicarakan sekelumit tentang qira'at-qira'at. Bagaimana timbulnya dan siapa tokohnya yang terkenal.
1. Pengertian Qira'at
Al-Qira'at adalah bentuk mashdar dari qara'a - yaqra'u - qirâ'atan. Menurut istilah qira'at ialah salah satu aliran dalam mengucapkan Al-Qur'an yang dipakai oleh salah seorang imam qura' yang berbeda dengan lainnya dalam hal ucapan Al-Qur'anul Karim. Qira'at ini berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.
2. Apakah pada masa Sahabat sudah ada qari-qari?
Benar ada. Periode qura' yang mengajarkan bacaan Al-Qur'an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan standard dari masa sahabat yang mulia.
Diantara sahabat yang populer dengan bacaannya adalah: Ubay, Aly, Zaid ibnu Tsabit, Ibnu Mas'ud. Abu Musa al-Asy'ary dan lain-lain. Dari mereka itulah kebanyakan para sahabat dan tabi'in di seluruh daerah belajar. Mereka itu semuanya berpedoman kepada Rasulullah SAW sampai dengan datangnya masa tabi'in pada permulaan abad ke-2 H. Selanjutnya timbul golongan-golongan yang begitu memperhatikan adanya tanda baca secara sempurna manakala diperlukan dan mereka menjadikannya sebagai satu cabang dari ilmu sebagaimana halnya ilmu-ilmu syari'at yang lain.
Bagaimanakah sejarah timbulnya Qira'at??
Telah kami ketahui terdahulu bahwa periodesasi qurra' adalah sejak zaman sahabat sampai dengan masa tabi'in. Orang-orang yang menguasai tentang Al-Qur'an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam demi imam yang akhirnya berasal dari Nabi.
Sedangkan mushhaf-mushhaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat di dalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushhaf dengan satu wajah kemudian ditulis pada mushhaf lain dengan wajah yang lain dan begitulah seterusnya.
Tidaklah diragukan lagi bahwa penguasaan tentang riwayat dan penerimaan adalah merupakan pedoman dasar dalam bab qira'at dan Al-Qur'an.
Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf sedang yang lain ada yang mengambilnya dan huruf/bacaan. Dan bahkan yang lain lagi ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka bertebaran ke seluruh penjuru daerah dalam keadaan semacam ini.
Utsman r.a. ketika mengirim mushhaf-mushhaf ke seluruh penjuru kota ia mengirimkan pula orang yang sesuai bacaannya mempunyai satu segi bacaan dan yang lainnya ada pula yang lebih dari itu. Oleh karena itulah timbulnya banyak perbedaan dan kurang adanya keseragaman antara sesamanya.
Pada masa itu himbauan tokoh-tokoh dan pemimpin ummat untuk bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa membedakan antara bacaan yang benar dan yang tidak benar. Mereka mengumpulkan huruf dan qira'at, mengembangkan wajah-wajah dan dirayah, menjelaskan yang benar dan yang salah serta yang berkembang dan yang punah dengan pedoman-pedoman yang mereka kembangkan dan segi-segi yang mereka utamakan.(1)
(1). Manahilul 'Irfan, juz I, hal: 407
0 komentar:
Posting Komentar