Ilmu nahwu merupakan bagian dari ilmu bahasa secara umum. Secara keseluruhan, ilmu bahasa meliputi ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu pelafalan, dan ilmu semantik. Ilmu sharf berbicara tentang aturan pembentukan kata (البنية والصيغة). Ia mempelajari timbangan-timbangan kata (wazan) berikut indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan (الحذف), penambahan (الزيادة), perentangan (التطويل), pemendekan (التقصير), peleburan (الادغام), pembalikan (القلب), penggantian (الابدال), pencacatan (الاعلال), serta keadaan saat terus (الوصل) dan saat berhenti (الوقف). Dengan kata lain, kata kunci dalam ilmu sharf ialah kata (الكلمة). Adapun kata kunci dalam ilmu pelafalan ialah suara (الصوت). Sementara, ilmu semantik menitikberatkan kajiannya pada aspek makna dan penunjukan makna. Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna leksikon dari suatu kata (= المعني المعجمي المعني القاموسي), makna kontekstualnya (المعني السياقي), makna individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti individu, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain-lain.
Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat (الجملة). Ia secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran (الاسناد). Jadi ilmu nahwu tidaklah hanya berbicar tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat.
Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmu-ilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan ilmu yang lain.
SEBAB-SEBAB YANG MENDORONG DISUSUNNYA ILMU NAHWU
Bangsa Arab pada awalnya merupakan bangsa yang memiliki keahlian dalam menggunakan dua bahasa sekaligus, yakni bahasa fasih dan bahasa dialek. Saat sedang bersantai dengan keluarga misalnya, mereka menggunakan bahasa dialek. Namun apabila pada saat yang lain mereka harus menggunakan bahasa fasih, mereka pun sanggup melakukannya secara sempurna. Al-Qur’an dan sabda Nabi juga disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.
Setelah Islam berhasil melakukan futuh ke berbagai negeri ajam (non Arab), bangsa Arab mau tidak mau harus bergumul dengan bangsa-bangsa yang tidak berbahasa Arab tersebut. Akibat pergumulan yang berlangsung secara intens dan dalam waktu lama, bahasa Arab mulai terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain. Orang-orang non Arab berusaha untuk berbicara dalam bahasa Arab namun mereka melakukan banyak kekeliruan. Orang Arab sendiri sedemikian toleran atas berbagai kekeliruan berbahasa Arab, baik yang dilakukan oleh orang non Arab maupun oleh orang Arab yang baru belajar berbahasa. Saat itu, kesalahan bukan hanya dilakukan oleh orang awam namun juga oleh orang-orang terpelajar dan para sastrawan. Dikisahkan, bahkan Al-Hajjaj, seorang yang sangat mahir berbahasa, juga sempat melakukan kesalahan. Banyaknya kesalahan, terutama dalam mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an, telah mendorong sebagian orang yang mahir berbahasa untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa, yang pada kemudian hari dikenal sebagi ilmu nahwu.
TUJUAN DISUSUNNYA ILMU NAHWU
Tujuan utama penyusunan ilmu nahwu ialah agar bahasa Arab yang fasih tetap terjaga sehingga Al-Qur’an dan hadits Nabi juga terjaga dari kesalahan. Di sisi lain, ilmu nahwu juga bisa dipakai sebagai sarana untuk mengungkap keajaiban bahasa Al-Qur’an (اعجاز القرآن).
SIAPAKAH YANG MULA-MULA MENYUSUN ILMU NAHWU?
Melalui pengkajian yang teliti, para ahli menetapkan bahwa yang meletakkan gagasan awal dan dasar-dasar serta metodologi ilmu nahwu ialah Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya, pekerjaan tersebut dilanjutkan secara ekstensif oleh muridnya yang bernama Abul Aswad.
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa metodologi ilmu nahwu diadopsi dari tata bahasa lain – terutama Yunani – melalui perantaraan orang-orang Suryani, para ahli menyanggahnya dengan mengatakan bahwa metodologi itu orisinil dari Arab, terutama dengan adanya Al-Qur’an. Para ahli mengatakan bahwa tata bahasa Yunani memang sempat bergumul dan mempengaruhi ilmu nahwu, namun itu terjadi setelah ilmu nahwu sendiri sudah berada di tengah-tengah formasinya.
BAB APA YANG MULA-MULA DISUSUN DALAM ILMU NAHWU?
Dalam hal ini para ahli berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa bab yang mula-mula disusun sesuai dengan bentuk kesalahan berbahasa yang muncul bersamaan dengan mulai disusunnya ilmu nahwu itu sendiri. Sebagian yang lain berpendapat bahwa bab yang mula-mula mesti selaras dengan pola kerja akal manusia. Dengan demikian, bab yang mula-mula ialah yang paling sederhana, lalu dilanjutkan dengan yang lebih rumit, dan demikian seterusnya.
PERKEMBANGAN ILMU NAHWU DARI MASA KE MASA
Perkembangan ilmu nahwu dapat diruntut menjadi tiga periode:
1. Periode Perintisan dan Penumbuhan (Periode Bashrah)
Perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi.
2. Periode Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)
Periode ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima besarnya Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam Al-Kisa’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.
3. Periode Penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad)
Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu klasik.
Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol), lalu di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini. [selesai]
KLASIFIKASI KATA MENURUT
ILMU NAHWU DAN ILMU SHARAF
Dalam tata bahasa Arab, sebagaimana juga dalam tata bahasa yang lain, kata sebagai satuan terkecil bahasa bisa diklasifikasikan menjadi berbagai macam kelompok. Ini tentu saja kemudian memudahkan kita dalam mempelajari tata bahasa Arab. Kata, dalam bahasa Arab, pertama-tama dibagi menjadi: isim, fi'il dan huruf. Selanjutnya, kata ada yang mabni dan ada yang mu'rab, ada yang mudzakkar dan ada yang muannats, dan sebagainya. Berbagai jenis kelompok kata ini seluruhnya bisa dilihat dalam uraian berikut ini.
I. KLASIFIKASI ISIM MENURUT ILMU NAHWU
1. ISIM MU’RAB
• Isim Marfu’ : 1) Mubtada’, 2) Khabar, 3) Isim Kaana, 4) Khabar Inna, 5) Fa’il, 6) Na-ibul Fa’il, 7) Yang mengikuti isim marfu’ (Na’at, Taukid, Badal, Athaf)
• Isim Manshub : 1) Khabar kaana, 2)Isim Inna, 3) Maf’ul Bihi, 4) Maf’ul Muthlaq, 5) Maf’ul Liajlihi, 6) Maf’ul Ma’ahu, 7) Maf’ul Fihi (Zharaf), 8) Haal, 9) Mustatsna, 10) Munada, 11) Tamyiz, 12) Yang mengikuti isim manshub (Na’at, Taukid, Badal, Athaf)
• Isim Majrur : 1) Yang majrur karena huruf jar, 2) Yang Majrur karena idhafah, 3) Yang mengikuti isim majrur (Na’at, Taukid, Badal, Athaf)
2. ISIM MABNI
• Dhamir (Dhamir Munfashil, Dhamir Muttashil, Dhamir Mustatir)
• Isim Isyarah
• Isim Maushul
• Isim Syarth
• Isim Istifham
• Susunan bilangan dari 11 sampai 19 (kecuali 12)
• Sebagian zharaf yang mabni, dan yang tersusun dari zharaf
• Isim fi’il
KLASIFIKASI FI’IL MENURUT ILMU NAHWU
1. FI'IL MABNI
• Fi’il madhi
• Fi’il amr
• Fi’il mudhari’ yang disambung dengan nun niswah atau nun taukid
2. FI'IL MU'RAB : fi’il mudhari’
• Tanda-tanda rafa’-nya fi’il mudhari’ : dhommah – tetapnya nun
• Tanda-tanda nashab-nya fi’il mudhari’ : fathah – hilangnya nun
• Tanda-tanda jazm-nya fi’il mudhari’ : sukun – hilangnya nun – hilangnya huruf ‘illat
II. KLASIFIKASI HURUF MENURUT ILMU NAHWU
Huruf-huruf yang memasuki isim
• Huruf-huruf jar
• Inna dan saudara-saudaranya
• Huruf-huruf nida’ (panggilan)
• Huruf pengecualian illaa – wawu ma’iyyah – laam ibtida’
1. Huruf-huruf yang memasuki fi’il
• Huruf-huruf nashab
• Huruf-huruf jazm
• Maa dan laa – Qad – Siin dan Saufa
2. Huruf-huruf yang memasuki isim maupun fi’il
• Huruf-huruf athaf
• Dua huruf istifham : hamzah dan hal
• Wawu haal dan laam qasam
III. KLASIFIKASI ISIM MENURUT ILMU SHARAF
Isim menurut bangunannya :
1. Isim ghairu shahih akhir (Maqshur, Manqush, Mamdud)
2. Isim shahih akhir
Isim menurut kedefinitifannya
1. Isim nakirah
2. Isim ma’rifah : Dhamir, ‘Alam (kunyah, laqab, isim), Isim isyarah, Isim maushul, Yang ma’rifah karena alif laam, Yang di-idhafah-kan terhadap ma’rifah, Munada yang tertentu maksudnya
Isim menurut jendernya
1. Isim mudzakkar
2. Isim muannats
Isim menurut bilangannya
1. Isim mufrad
2. Isim mutsanna
3. Isim jamak : 1) Jamak mudzakkar salim, 2) Jamak muannats salim, 3) Jamak taksir (Jamak qillah, Jamak katsrah)
Isim menurut proses tersusunnya
1. Isim jamid :
• Isim dzat (konkret)
• Isim maknawi (abstrak) atau mashdar
• Mashdar dari fi’il tsulatsi, ruba’i, khumasi, dan sudasi
• Mashdar miimi – mashdar shina’i - isim marrah dan isim hai’ah
2. Isim musytaqq :
• Isim fa’il
• Shighat mubalaghah – amal dari shighat mubalaghah
• Isim maf’ul
• Shifat musyabbahah (yang menyerupai) isim fa’il
• Isim tafdhil
• Isim zaman dan makan
• Isim alat
Isim menurut pola pen-tashghir-annya
1. Pen-tashghir-an isim tsulatsi, ruba’i, dan khumasi
2. Pen-tasghir-an isim yang huruf keduanya alif zaidah atau huruf ketiganya huruf ‘illat
Isim menurut pola penisbatan terhadapnya
1. Penisbatan terhadap maqshur, manqush, dan mamdud
2. Penisbatan terhadap isim yang diakhiri dengan yaa’ bertasydid dan terhadap tsulatsi yang akhirnya dibuang
3. Penisbatan terhadap jamak dan Isim-isim yang manshub dengan tanpa mengikuti kaidah
IV. KLASIFIKASI FI’IL MENURUT ILMU SHARAF
Fi’il menurut bangunannya
1. Fi’il shahih : mahmuz, mudha’af tsulatsi, dan salim
2. Fi’il mu’tal : mitsaal, ajwaf, dan naaqish
Fi’il menurut proses tersusunnya
1. Fi’il mujarrad : fi’il mujarrad tsulatsi, fi’il mujarrad ruba’i
2. Fi’il mazid : fi’il mazid tsulatsi, fi’il mazid ruba’i
Fi’il menurut waktu terjadinya
1. Fi’il madhi
2. Fi’il mudhari’
3. Fi’il amr
Fi’il menurut obyeknya
1. Fi’il lazim
2. Fi’il muta’addi
Fi’il menurut disebutkan atau tidak pelakunya
1. Fi’il mabni ma’lum
2. Fi’il mabni majhul
Fi’il menurut pen-tashrif-annya
1. Fi’il jamid
2. Fi’il mutasharrif : fi’il yang mutasharrif sempurna dan fi’il yang mutasharrif tidak sempurna
Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat (الجملة). Ia secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran (الاسناد). Jadi ilmu nahwu tidaklah hanya berbicar tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya, namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan merangkai kalimat.
Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain. Ilmu-ilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna dengan hanya menggunakan salah satu atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan ilmu yang lain.
SEBAB-SEBAB YANG MENDORONG DISUSUNNYA ILMU NAHWU
Bangsa Arab pada awalnya merupakan bangsa yang memiliki keahlian dalam menggunakan dua bahasa sekaligus, yakni bahasa fasih dan bahasa dialek. Saat sedang bersantai dengan keluarga misalnya, mereka menggunakan bahasa dialek. Namun apabila pada saat yang lain mereka harus menggunakan bahasa fasih, mereka pun sanggup melakukannya secara sempurna. Al-Qur’an dan sabda Nabi juga disampaikan dalam bahasa Arab yang fasih.
Setelah Islam berhasil melakukan futuh ke berbagai negeri ajam (non Arab), bangsa Arab mau tidak mau harus bergumul dengan bangsa-bangsa yang tidak berbahasa Arab tersebut. Akibat pergumulan yang berlangsung secara intens dan dalam waktu lama, bahasa Arab mulai terpengaruh oleh bahasa-bahasa lain. Orang-orang non Arab berusaha untuk berbicara dalam bahasa Arab namun mereka melakukan banyak kekeliruan. Orang Arab sendiri sedemikian toleran atas berbagai kekeliruan berbahasa Arab, baik yang dilakukan oleh orang non Arab maupun oleh orang Arab yang baru belajar berbahasa. Saat itu, kesalahan bukan hanya dilakukan oleh orang awam namun juga oleh orang-orang terpelajar dan para sastrawan. Dikisahkan, bahkan Al-Hajjaj, seorang yang sangat mahir berbahasa, juga sempat melakukan kesalahan. Banyaknya kesalahan, terutama dalam mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an, telah mendorong sebagian orang yang mahir berbahasa untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa, yang pada kemudian hari dikenal sebagi ilmu nahwu.
TUJUAN DISUSUNNYA ILMU NAHWU
Tujuan utama penyusunan ilmu nahwu ialah agar bahasa Arab yang fasih tetap terjaga sehingga Al-Qur’an dan hadits Nabi juga terjaga dari kesalahan. Di sisi lain, ilmu nahwu juga bisa dipakai sebagai sarana untuk mengungkap keajaiban bahasa Al-Qur’an (اعجاز القرآن).
SIAPAKAH YANG MULA-MULA MENYUSUN ILMU NAHWU?
Melalui pengkajian yang teliti, para ahli menetapkan bahwa yang meletakkan gagasan awal dan dasar-dasar serta metodologi ilmu nahwu ialah Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya, pekerjaan tersebut dilanjutkan secara ekstensif oleh muridnya yang bernama Abul Aswad.
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa metodologi ilmu nahwu diadopsi dari tata bahasa lain – terutama Yunani – melalui perantaraan orang-orang Suryani, para ahli menyanggahnya dengan mengatakan bahwa metodologi itu orisinil dari Arab, terutama dengan adanya Al-Qur’an. Para ahli mengatakan bahwa tata bahasa Yunani memang sempat bergumul dan mempengaruhi ilmu nahwu, namun itu terjadi setelah ilmu nahwu sendiri sudah berada di tengah-tengah formasinya.
BAB APA YANG MULA-MULA DISUSUN DALAM ILMU NAHWU?
Dalam hal ini para ahli berbeda pendapat. Sebagian mengatakan bahwa bab yang mula-mula disusun sesuai dengan bentuk kesalahan berbahasa yang muncul bersamaan dengan mulai disusunnya ilmu nahwu itu sendiri. Sebagian yang lain berpendapat bahwa bab yang mula-mula mesti selaras dengan pola kerja akal manusia. Dengan demikian, bab yang mula-mula ialah yang paling sederhana, lalu dilanjutkan dengan yang lebih rumit, dan demikian seterusnya.
PERKEMBANGAN ILMU NAHWU DARI MASA KE MASA
Perkembangan ilmu nahwu dapat diruntut menjadi tiga periode:
1. Periode Perintisan dan Penumbuhan (Periode Bashrah)
Perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas (analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar, pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat, mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai dipakainya metode analogi.
2. Periode Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)
Periode ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya. Terjadi perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima besarnya Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam Al-Kisa’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas tema-tema yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.
3. Periode Penyempurnaan dan Tarjih (Periode Baghdad)
Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini. Masa ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa fanatisme alirannya masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha mengkompromikan antara Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru yang disebut sebagai Aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu klasik.
Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia (Spanyol), lalu di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke zaman kita saat ini. [selesai]
KLASIFIKASI KATA MENURUT
ILMU NAHWU DAN ILMU SHARAF
Dalam tata bahasa Arab, sebagaimana juga dalam tata bahasa yang lain, kata sebagai satuan terkecil bahasa bisa diklasifikasikan menjadi berbagai macam kelompok. Ini tentu saja kemudian memudahkan kita dalam mempelajari tata bahasa Arab. Kata, dalam bahasa Arab, pertama-tama dibagi menjadi: isim, fi'il dan huruf. Selanjutnya, kata ada yang mabni dan ada yang mu'rab, ada yang mudzakkar dan ada yang muannats, dan sebagainya. Berbagai jenis kelompok kata ini seluruhnya bisa dilihat dalam uraian berikut ini.
I. KLASIFIKASI ISIM MENURUT ILMU NAHWU
1. ISIM MU’RAB
• Isim Marfu’ : 1) Mubtada’, 2) Khabar, 3) Isim Kaana, 4) Khabar Inna, 5) Fa’il, 6) Na-ibul Fa’il, 7) Yang mengikuti isim marfu’ (Na’at, Taukid, Badal, Athaf)
• Isim Manshub : 1) Khabar kaana, 2)Isim Inna, 3) Maf’ul Bihi, 4) Maf’ul Muthlaq, 5) Maf’ul Liajlihi, 6) Maf’ul Ma’ahu, 7) Maf’ul Fihi (Zharaf), 8) Haal, 9) Mustatsna, 10) Munada, 11) Tamyiz, 12) Yang mengikuti isim manshub (Na’at, Taukid, Badal, Athaf)
• Isim Majrur : 1) Yang majrur karena huruf jar, 2) Yang Majrur karena idhafah, 3) Yang mengikuti isim majrur (Na’at, Taukid, Badal, Athaf)
2. ISIM MABNI
• Dhamir (Dhamir Munfashil, Dhamir Muttashil, Dhamir Mustatir)
• Isim Isyarah
• Isim Maushul
• Isim Syarth
• Isim Istifham
• Susunan bilangan dari 11 sampai 19 (kecuali 12)
• Sebagian zharaf yang mabni, dan yang tersusun dari zharaf
• Isim fi’il
KLASIFIKASI FI’IL MENURUT ILMU NAHWU
1. FI'IL MABNI
• Fi’il madhi
• Fi’il amr
• Fi’il mudhari’ yang disambung dengan nun niswah atau nun taukid
2. FI'IL MU'RAB : fi’il mudhari’
• Tanda-tanda rafa’-nya fi’il mudhari’ : dhommah – tetapnya nun
• Tanda-tanda nashab-nya fi’il mudhari’ : fathah – hilangnya nun
• Tanda-tanda jazm-nya fi’il mudhari’ : sukun – hilangnya nun – hilangnya huruf ‘illat
II. KLASIFIKASI HURUF MENURUT ILMU NAHWU
Huruf-huruf yang memasuki isim
• Huruf-huruf jar
• Inna dan saudara-saudaranya
• Huruf-huruf nida’ (panggilan)
• Huruf pengecualian illaa – wawu ma’iyyah – laam ibtida’
1. Huruf-huruf yang memasuki fi’il
• Huruf-huruf nashab
• Huruf-huruf jazm
• Maa dan laa – Qad – Siin dan Saufa
2. Huruf-huruf yang memasuki isim maupun fi’il
• Huruf-huruf athaf
• Dua huruf istifham : hamzah dan hal
• Wawu haal dan laam qasam
III. KLASIFIKASI ISIM MENURUT ILMU SHARAF
Isim menurut bangunannya :
1. Isim ghairu shahih akhir (Maqshur, Manqush, Mamdud)
2. Isim shahih akhir
Isim menurut kedefinitifannya
1. Isim nakirah
2. Isim ma’rifah : Dhamir, ‘Alam (kunyah, laqab, isim), Isim isyarah, Isim maushul, Yang ma’rifah karena alif laam, Yang di-idhafah-kan terhadap ma’rifah, Munada yang tertentu maksudnya
Isim menurut jendernya
1. Isim mudzakkar
2. Isim muannats
Isim menurut bilangannya
1. Isim mufrad
2. Isim mutsanna
3. Isim jamak : 1) Jamak mudzakkar salim, 2) Jamak muannats salim, 3) Jamak taksir (Jamak qillah, Jamak katsrah)
Isim menurut proses tersusunnya
1. Isim jamid :
• Isim dzat (konkret)
• Isim maknawi (abstrak) atau mashdar
• Mashdar dari fi’il tsulatsi, ruba’i, khumasi, dan sudasi
• Mashdar miimi – mashdar shina’i - isim marrah dan isim hai’ah
2. Isim musytaqq :
• Isim fa’il
• Shighat mubalaghah – amal dari shighat mubalaghah
• Isim maf’ul
• Shifat musyabbahah (yang menyerupai) isim fa’il
• Isim tafdhil
• Isim zaman dan makan
• Isim alat
Isim menurut pola pen-tashghir-annya
1. Pen-tashghir-an isim tsulatsi, ruba’i, dan khumasi
2. Pen-tasghir-an isim yang huruf keduanya alif zaidah atau huruf ketiganya huruf ‘illat
Isim menurut pola penisbatan terhadapnya
1. Penisbatan terhadap maqshur, manqush, dan mamdud
2. Penisbatan terhadap isim yang diakhiri dengan yaa’ bertasydid dan terhadap tsulatsi yang akhirnya dibuang
3. Penisbatan terhadap jamak dan Isim-isim yang manshub dengan tanpa mengikuti kaidah
IV. KLASIFIKASI FI’IL MENURUT ILMU SHARAF
Fi’il menurut bangunannya
1. Fi’il shahih : mahmuz, mudha’af tsulatsi, dan salim
2. Fi’il mu’tal : mitsaal, ajwaf, dan naaqish
Fi’il menurut proses tersusunnya
1. Fi’il mujarrad : fi’il mujarrad tsulatsi, fi’il mujarrad ruba’i
2. Fi’il mazid : fi’il mazid tsulatsi, fi’il mazid ruba’i
Fi’il menurut waktu terjadinya
1. Fi’il madhi
2. Fi’il mudhari’
3. Fi’il amr
Fi’il menurut obyeknya
1. Fi’il lazim
2. Fi’il muta’addi
Fi’il menurut disebutkan atau tidak pelakunya
1. Fi’il mabni ma’lum
2. Fi’il mabni majhul
Fi’il menurut pen-tashrif-annya
1. Fi’il jamid
2. Fi’il mutasharrif : fi’il yang mutasharrif sempurna dan fi’il yang mutasharrif tidak sempurna
0 komentar:
Posting Komentar